Seberapa sering manusia merasa takut dalam hidupnya? Takut kehilangan orang yang disayang, takut kehilangan pekerjaan, takut dianggap buruk oleh orang lain, dan takut-takut yang lainnya. Kalau ada yang nonton Star Wars, pasti sudah tidak asing dengan kutipan di atas. Kalau diperhatikan, cerita dibalik munculnya villain dalam kisah-kisah heroik, kebanyakan berasal dari ketakutan. Anakin Skywalker menjadi Darth Vader karena ketakutan yang besar akan kehilangan orang yang ia sayangi; Tom Riddle menjadi Lord Voldemort dan membagi dirinya ke dalam 7 Horcrux karena ketakutan akan ketidakabadian; atau Loki yang tetap menjadi Loki namun ketakutan atas tidak adanya pengakuan membuat ia rela mengambil alih kepemimpinan Asgard dengan segala cara. Apa benar ketakutan itu mengantarkan manusia pada kebencian? Bukankah takut berarti lemah? Pertanyaan remeh jarang terpikirkan itu membuat kami merasa perlu mencari tahu apa, kenapa dan efeknya ‘ketakutan’ itu.
Kita telusuri secara etimologi, Kamus Besar Bahasa Indonesia membatasi beberapa definisi 'takut' dengan arti: merasa gentar (ngeri) menghadapi sesuatu, takwa; segan dan hormat, gelisah 1. Pada bahasa inggris, 'fear', berakar kata 'fǣr' pada Inggris kuno yang berarti 'bahaya' 2. Dalam perkataan Frank Herbert, “Fear is the mind-killer.”, pernah dikutip oleh Seth Godin di bukunya yang berjudul What To Do When It’s Your Turn.
Takut jadi seperti perasaan tegang di pikiran karena keraguan atau rasa terancam/kehilangan. Benarkah rasa takut terkait ekspektasi atau pikiran antisipasi dari bahaya yang mungkin muncul?
Ada banyak jenis ketakutan yang dimunculkan dalam pandangan awam, ada ketakutan kehilangan sesuatu, ketakutan tidak bisa melakukan atau mendapatkan sesuatu, kegelisahan atas ketidakpastian. Penyebab kita takut nampaknya lebih karena kemungkinan yang belum terjadi, kemungkinan ini didasarkan pada pengalaman sebelumnya pribadi atau orang lain. Rasa takut adalah bayangan, tidak ada pada dirinya sendiri, tergantung persepsi dan keadaan pikiran kita. Saat kita takut, pikiran kita kacau, kita mempersepsikan hal-hal yang tak/belum ada, menjadi ada 3.
Imbas ketakutan tersebut katanya tubuh melepaskan senyawa Glutamat dari Amygdala. Lalu responsnya, detak jantung dipercepat, terlepasnya kortisol dan adrenalin serta glukosa ke aliran darah 4. Hasil ketakutan pada senyawa tersebut membuat kita memiliki semacam energi lebih atau alasan untuk bergerak/melawan. Tapi tak jarang, ketakutan juga membuat kita patuh dan tak bisa melawannya. Seperti pameo kuno tentang 'kepercayaan', dogma pertama yang ditanamkan adalah ketakutan. Beragama karena ketakutan?
Pada budaya konsumerisme, ketakutan adalah komoditas. Manusia dieksploitasi rasa ketakutannya, untuk bergerak membutuhkan suatu hal. Takut ketinggalan tren, takut menjadi tua, takut tak memiliki sesuatu, lalu manusia ditawarkan untuk mendapatkannya dengan membeli sesuatu. Seperti dogma kepercayaan, ketakutan juga jadi senjata untuk menguasai seseorang, coba lihat kasus diktator.
Apakah kita tidak dapat melawan rasa takut? Menghilangkannya? Pada paham Zen Buddhisme, tugas utama setiap manusia adalah memahami pikirannya. Memahami pikiran, berarti memahami jati dirinya. Ujungnya paham itu, manusia menyadari 'jati diri' itu tidak ada, mirip seperti sufisme. Ketika diri dan pikiran disadari sebagai tidak ada, maka orang tidak akan pernah merasa takut lagi dalam hidupnya. Ketenangan hati dan pikiran, serenity, kata orang barat mah. Ini mah level dewa, menghilangkan ketakutan. Adakah cara kita mengelola rasa takut kalau begitu?
Meskipun penjelasan mengenai rasa takut rasanya begitu kompleks, sebenarnya takut adalah hal sederhana yang pasti dialami oleh semua manusia. Mau dia orang paling berani sedunia dan sejagat raya pun, pasti ia pernah merasa takut. Kecuali orang yang punya kelainan di amygdala, yaitu bagian kecil di tengah otak memang berfungsi untuk mengeluarkan respon berupa emosi, seperti yang sudah sedikit dipaparkan sebelumnya. Dan jika rusak, bisa jadi ia tidak bisa merasakan emosi apapun, termasuk rasa takut.
Buat yang pernah nonton Inside Out, pasti punya visualisasi bagaimana emosi itu bekerja di otak. Manusia punya lima jenis emosi dasar, yaitu senang, sedih, marah, jijik dan takut. Lima emosi tersebut adalah respon atas suatu stimulus yang diterima seseorang dari lingkungannya. Respon yang dihasilkan bisa berupa respon psikologis maupun fisiologis. Coba bayangkan ketika sedang takut, respon fisiologis yang muncul bisa berupa keringat dingin, bulu kuduk yang berdiri, dan jantung yang berdebar kencang, sedangkan reaksi psikologisnya bisa jadi berupa kecemasan atau rasa khawatir.
Tapi ternyata, takut bisa bertransformasi jadi jenis-jenis lain selain emosi. Kalau dari reaksi yang muncul pada seseorang, menurut Paman Saberi Roy 5, takut bisa dibedakan menjadi:
Takut Sebagai Emosi | Takut Sebagai Perasaan | Takut Sebagai Kecemasan | Takut Sebagai Phobia |
---|---|---|---|
Adanya reaksi fisiologis yang muncul sebagai reaksi langsung atas stimulus tertentu. Misal: keringat dingin ketika berada di ketinggian. | Adanya perasaan subjektif yang secara tidak sadar dialami. Misal: merasa khawatir ketika besok akan naik pesawat terbang untuk pertama kali. | Melibatkan perasaan subjektif yang intens dan terinternalisasi. Misal: membayangkan segala kemungkinan buruk yang akan terjadi setiap menaiki pesawat. | Melibatkan reaksi patologis ditandai dengan reaksi emosi yang berlebihan. Misal: berteriak histeris, gemetar, dan menangis saat berada di ketinggian. |
Orang takut juga macam-macam penyebabnya. Bisa jadi seseorang takut pada satu hal, tapi tidak pada yang lainnya. Kalau dibuat klasifikasinya secara luas, ini lima alasan mendasar seseorang bisa takut menurut Karl Albrecht 6 :
Kelima jenis takut di atas bisa berkembang lebih banyak lagi menjadi jenis-jenis takut yang lain. Misalnya, rasa takut terhadap ketinggian bisa jadi gabungan antara fear of pain/mutilation dan fear of extinction. Kira-kira, sudah bisa mengidentifikasi rasa takut kamu sendiri ke dalam 5 jenis takut di atas? Sekarang pertanyaannya, bagaimana caramu mengatasi ketakutanmu itu?
Meskipun rasa takut itu wajar terjadi, sayangnya kebanyakan orang telah mengasosiasikan ketakutan dengan sesuatu yang lemah, begitu kata Opa Arthur J. Westermayr 7. “Ah pengecut lo, gitu doang takut!” mungkin ada di antara kita yang pernah dapat perkataan seperti itu. Padahal, takut adalah suatu hukum alam yang secara alami muncul sebagai suatu aksi penyelamatan diri. Secara natural, binatang, termasuk manusia, menyelamatkan diri dengan dua cara: fight or flight; karena takut jadi menghadapi ketakutannya atau lari dari ketakutannya tersebut.
Jika manusia berhasil menghadapi ketakutan, bisa jadi ia termasuk dalam golongan pemberani. Katanya keberanian itu sungguh jauh lebih berharga dibandingkan jatuh dalam ketakutan. Namun, jika memang ketakutan itu diasosiasikan dengan kepengecutan, maka setiap manusia mau tidak mau, adalah seorang pengecut. Sebab ketakutan kadang tidak bisa dihindari, betul? Nah, berarti jika kita malah lari dari ketakutan, ketakutan itu akan selalu mengejar-ngejar kita. Daripada main kucing-kucingan, setuju dong kalau ketakutan harus diatasi? Cara mengatasinya mungkin berbeda-beda pada tiap orang, tergantung tipe dan jenis takutnya.
Manusia yang merasa takut dengan ketakutannya (takut-ception :p) akan memunculkan reaksi menjauhi atau menghindari sumber ketakutannya tersebut (avoidance reaction). Reaksi ini menjelaskan mengapa seseorang memilih tidak datang ke acara yang ia tahu akan tidak nyaman dengan orang-orangnya; membatalkan jadwal dengan dokter gigi ketika tahu harus di bor; atau rela kalah WO saat tahu siapa lawannya. Ini terjadi ketika seseorang sudah dapat memprediksi ketakutannya karena bisa jadi dia pernah mengalami memori tentang ketakutan tersebut.
Menjauhi rasa takut terdengar seperti tindakan pengecut. Namun, mungkin ini bentuk antisipasi diri agar nantinya tidak lebih merasa takut.
Di tulisannya, Opa Westermayr berpendapat bahwa agama menggunakan rasa takut sebagai daya tarik awal dan akhirnya. Semenjak awal agama mengajarkan adanya konsekuensi atas suatu perilaku, dan pada akhirnya agama pun menggambarkan betapa mengerikannya hari pembalasan. Dengan menciptakan ketakutan manusia akan konsekuensi tersebut, manusia dijanjikan mendapatkan anugerah jika ia berhasil menjauhi keburukan. Katanya mah, “Fear of evil intended to lure man from his natural tendency to evil”. Ketakutan akan keburukan lah yang membuat manusia menjauhi keburukan itu sendiri. Pada akhirnya, manusia menjadi patuh terhadap ketakutannya sebab ia takut akan konsekuensi yang muncul jika tidak mematuhinya (fear of consequences).
Bukan hanya pada ajaran agama saja, kepatuhan seseorang terhadap “ketakutannya” bisa juga ditemui di lingkungan sosial kita, seperti di sistem pemerintahan, tempat kerja, ataupun keluarga. Tampaknya “ketakutan” yang akhirnya dipatuhi ini adalah sosok otoritas yang bisa memberikan konsekuensi jika kita melanggar apa yang telah ditentukannya.
Seorang teman sangat excited saat mengetahui kami sedang menulis topik 'takut'. Ia sendiri sedang dalam prosesnya mengalahkan ketakutannya. Dari buku The 50th Law oleh Robert Greene, ia banyak belajar bagaimana para tokoh-tokoh sejarah terdahulu mengatasi ketakutannya. Kadang memang ada beberapa hal yang kita rasa harus ditakuti namun sebenarnya tidak perlu takut akan hal itu. Ada 10 ketakutan yang bisa dikalahkan dengan caranya sendiri-sendiri:
Apapun alasannya, keberanian adalah ketika manusia merasa takut namun tanpa basa-basi menghadapi ketakutannya dengan kekuatan yang ada di dalam dirinya 8. Dengan begitu, seseorang yang bisa mengalahkan rasa takut adalah seseorang yang berhasil memunculkan dan mendorong keberaniannya sendiri.
Dari pertanyaan iseng tentang rasa takut, kami menelusuri ketakutan yang umum dirasakan oleh pemuda-pemudi Indonesia lewat sebuah kuesioner. Kami meminta responden untuk mengurutkan tiga ketakutannya dan menjelaskan lebih lanjut tentang satu ketakutan terbesar mereka: alasan mereka takut dan hal yang dilakukan ketika merasa takut.
Kebanyakan responden kami adalah perempuan (62%) dari total responden 94 orang. Apakah karena perempuan lebih penakut daripada laki-laki, atau memang karena lebih banyak perempuan yang buka link-nya saja? Hehehe. Semoga bukan karena lebih penakut, ya1
Pada word cloud di atas, kamu-kamu bisa lihat hal apa saja yang ditakuti oleh perempuan. Ternyata, biasanya perempuan paling banyak takut pada ‘tuhan’ dan ‘hantu’, selain itu ‘kecoa’.
Bagaimana dengan para lelaki? Word cloud selanjutnya menunjukkan hal-hal yang biasanya ditakuti oleh laki-laki.
Dari semua ketakutan tersebut, responden diminta untuk memilih satu ketakutan yang utama. Hasilnya: ‘tuhan’....! Ketakutan utama perempuan ‘tuhan’ begitu pula ketakutan utama laki-laki ‘tuhan’. Menarik, nih.
Kalau ketakutan-ketakutan di atas dikelompokkan lagi menjadi 5 jenis takut yang ada di Paparan Teori, ternyata jenis takut yang paling banyak dialami oleh responden adalah fear of uncertainty, atau ketakutan akan ketidakpastian. Takut pada ‘tuhan’ adalah jawaban yang paling banyak disebutkan oleh responden sebagai ketakutan utama. Mungkin Anda bertanya, mengapa ‘tuhan’ termasuk jenis fear of uncertainty, bukannya bagi yang beriman, ‘tuhan’ adalah sebuah kepastian?
Kategorisasi ini dilihat berdasarkan alasan responden takut kepada objek takutnya. Rata-rata orang yang menjawab takut ‘tuhan’, alasannya karena memang Tuhan yang berhak ditakuti, atau karena Tuhan yang menguasai segalanya, atau karena Tuhan yang menciptakan dan yang membinasakan. Tuhan merupakan objek yang omnipotent, begitu jawab seorang responden yang tampaknya cukup merangkumkan berbagai alasan takut pada Tuhan. Ini berarti segala kontrol ada pada tuhan, dan sebagai hamba yang beriman, kita percaya bahwa kita tidak memiliki kontrol terhadap apapun, bahkan terhadap diri sendiri. Ketakutan akan ketidakpastian itu muncul karena hilangnya kontrol diri terhadap suatu hal, karena ada kekuatan eksternal yang punya wewenang untuk menentukan hasilnya. Begitulah mengapa takut kepada ‘tuhan’ kami golongkan ke dalam fear of uncertainty. Bagus juga sebenarnya karena orang sadar bahwa manusia bukan apa-apa tanpa tuhan. Sayangnya tidak kita data agama responden.
Urutan | Jenis Takut | Jumlah Respons | Contoh paling banyak muncul |
---|---|---|---|
1 | Uncertainty | 44 | Tuhan |
2 | Pain/mutilation | 22 | Binatang (Kecoa, ular, ulat bulu) |
3 | Loss/separation | 14 | Kehilangan (Orang tua, significant others) |
4 | Ego-death | 9 | Kegagalan |
5 | Extinction | 5 | Kematian |
Jenis ketakutan yang kedua paling banyak adalah fear of pain/mutilation, yang paling banyak disebabkan oleh objek hewan. Misalnya, takut kecoa (atau kecoa terbang yang katanya lebih menakutkan), ular, atau ulat bulu alasannya adalah hewan-hewan tersebut terlihat mengancam dan menebarkan teror bagi umat manusia *serius ada yang jawab gini*. Ulat bulu bisa menyebabkan gatal atau ular bisa mematuk. Kami menyimpulkan bahwa responden takut membayangkan rasa sakit, geli, dan tidak nyaman pada tubuhnya jika diserang oleh hewan-hewan tersebut. Walaupun sebenarnya kalau ditelaah lebih jauh, bisa jadi hewan-hewan ini termasuk objek dari fear of uncertainty atau fear of extinction. Misalnya, kecoa bisa sewaktu-waktu terbang tanpa terduga (fear of uncertainty) dan kita bisa mati jika teracuni bisa ular (fear of extinction).
Selanjutnya fear of loss/separation menempati posisi ketiga untuk jenis ketakutan yang paling banyak dialami oleh responden. Responden takut kehilangan orang-orang terdekat yang mereka sayangi, takut merasa kesepian, dilupakan, atau ditinggalkan sendiri. Alasannya karena orang-orang tersebut merupakan pemberi makna hidup, atau akan menyesal jika kehilangan mereka sebelum membahagiakannya. Ini adalah ketakutan yang sangat wajar dan umum, tidak ada perdebatan di dalamnya. Sebab, menurut teori attachment-nya Kakek Bowlby, memang sedikit banuaknya ada kekhawatiran yang muncul pada perpisahan (separation), apalagi jika kelekatan yang terbangun sangatlah kuat.
Selain ketakutan kehilangan seseorang, ada juga objek lain yang menarik untuk dibahas, yaitu takut miskin. Kami menggolongkan takut miskin sebagai fear of loss/separation, sebab kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang tidak memiliki apapun, dalam konteks ini bisa jadi harta benda. Khawatir akan hilangnya kepemilikan terhadap objek yang dimilikinya membuat dirinya tidak bisa berbuat apa-apa dan kesusahan, begitu jawab seorang responden. Terlalu terikat dengan materialistik atau alat, sehingga menjadi ketergantungan.
Keempat, adalah fear of ego-death atau ketakutan akan kehilangan harga diri dan penghormatan dari orang lain, yang sumbernya, menurut jawaban responden, berasal dari penolakan atau kekecewaan orang lain terhadap dirinya. Alasan takutnya menurut salah satu responden adalah akan menghancurkan kepercayaan diri, merasa rendah, diremehkan, dan tidak berharga. Kegagalan juga faktor utama, orang merasakan kegagalan akan ‘membunuh’ dirinya dihadapan orang lain, malu mungkin karena kelemahan? Mungkin juga di Jepang, saking takut menanggung malu lebih baik bunuh diri. Kayaknya perlu belajar ke Indonesia, yang tidak punya budaya malu akhir-akhir ini.
Terakhir, yang penulis kira jawabannya akan banyak, fear of extinction ternyata paling sedikit dialami oleh responden. Hanya lima orang responden yang ketakutannya digolongkan ke fear of extinction, yaitu berasal dari kematian (4 respons) dan takut tidak merasakan apapun (1 respons).
Fear of extinction sendiri definisinya adalah ketakutan tentang ketiadaan dirinya secara eksistensial. Kematian sudah jelas sesuai dengan definisi, tapi jawaban seorang responden tentang “tidak merasakan apapun” ini sebenarnya cukup unik. Dia menjawab, ketakutannya ini muncul dengan alasan kita tidak akan bisa hidup, berterima kasih atau meminta maaf jika tidak ada rasa2. Kami menyimpulkan bahwa ketakutan ini sesuai dengan definisi fear of extinction, hanya saja bukan diri secara lahiriyah yang tiada, melainkan “rasa” yang tak terlihat tapi merupakan bagian dari dirinya lah yang ditakutkan akan tiada. Eksistensialisme diri yang hilang, kalau hal ini mah sama Om Sartre udah dibahas :p
Masih ada keraguan dari penulis mengenai ketakutan terbesar itu adalah pada ‘tuhan’. Apakah responden menulis itu benar-benar dari kesadaran dasarnya, atau sekedar dogma dari agama atau bahkan common sense. Bahwa tidak elok kalau kita tidak takut pada Tuhan yang paling utama. Karena begitulah best practice-nya. Tapi nyatanya mereka belum menemukan ketakutan utamanya. Sama seperti mengira sudah menemukan ‘Tuhan’ tapi masih menjadikan hal-hal lain ‘tuhan’ kecilnya. Kayaknya lebih bagus orang atheis, mereka secara jujur mengakui ada ‘tuhan’ tapi tak menemukan-Nya, sehingga tidak ada delusi ketakutan.
Urutan | Cara mengatasi takut | Jumlah Respons | Contoh yang paling banyak muncul |
---|---|---|---|
1 | Menuruti | 45 | Beribadah/berdoa, menangis, pasrah |
2 | Menjauhi | 23 | Lari, kabur, menghindar |
3 | Mengalahkan | 22 | Membuat rencana, persiapan, berusaha |
Sebagian besar dari responden mengatasi ketakutannya dengan menuruti ketakutan tersebut. Tidak heran, sebab kebanyakan responden menjawab takut pada ‘tuhan’, lalu mengatasinya dengan cara berdoa dan beribadah. Maka doa dan ibadah kami golongkan sebagai cara menuruti rasa takut, karena sadar Tuhan itu yang omnipotent dan yang bisa dilakukan untuk mengatasinya adalah dengan mengikuti perintahNya dan memohon padaNya (dan berdoa memberi ketenangan katanya).
Menarik membaca jawaban orang-orang mengenai cara mengatasi ketakutannya itu. Terutama terkait Tuhan, ini paling banyak, dan mereka hampir semuanya mengatasinya dengan beribadah dan berdoa. Jadi pengen dibahas lebih jauh, tentang ibadah itu karena takut dengan Tuhan? Kami tidak tahu bagaimana pandangan di agama selain Islam, karena kami dari dulu Islam, setidaknya dalam lingkungan keagamaan Islam. Dalam Islam sendiri ada istilah beribadah karena takut dan harap. Dua pilar tersebut maksudnya, ibadah dengan rasa takut harus pas, tidak lebih dan kurang. Jika takutnya kurang, maka mungkin mudah terjerumus maksiat. Lihat saja perintah Allah di Al-Quran, banyaknya juga ancaman neraka dll, karena manusia memang lebih mudah ditakuti dahulu mungkin? Sama seperti harap, beribadah karena harap juga ada, lihat di Al-Quran selalu iming-imingnya surga dan kenikmatannya. Jadi harap digunakan sebagai bahan bakar optimisnya, takut sebagai regulatornya. Bila kurang harap akan mudah putus asa, berlebihan adalah tidak tahu diri. Ya tengah-tengah lah, ‘wasathon’ bahasa arabnya.
Namun, hal tersebut adalah sejalan dengan tingkat pemahaman agamanya. Ada beberapa pengetahuan tasawwuf yang mengatakan beribadah itu karena kecintaannya pada Allah. Jadi tidak hanya takut dan harap, masa ibadah karena pengen surga dan takut neraka saja? Kalau mereka pejalan tasawwuf, ibadah karena ingin dekat pada Allah selayaknya pengorbanan pada yang dicinta. Dua-dua pemahaman itu benar, tapi tergantung levelnya. Mungkin saat level ‘SD’, pemahaman kita butuh sederhana, cukup takut dan harap. Itu dahulu hingga terlatih, butuh lebih substansial kompleks. Meningkat ke ‘SMP’, ‘SMA’, hingga tataran ‘universitas’ yang universal. Bahwa ibadah itu karena cinta, tidak peduli imbalan. Kalau sudah cinta, tak peduli akan terluka atau mendapat apa-apa, saking cintanya. Jadi tidak masalah berawal dari ketakutan, karena itulah doktrin awal dimanapun itu. Namun selanjutnya, pemahaman lebih jauh, perlu ditambah. Karena ketakutan akan menciptakan ketakutan selanjutnya. Seperti paradoks.
Wah, jadi panjang pembahasan tentang Tuhan, ibadah dan ketakutan :p Mari lanjut ke cara kedua mengatasi ketakutan, yaitu dengan menjauhi sumber ketakutannya tersebut. Nah, kebanyakan jawaban menjauhi rasa takut ini dilakukan dengan cara mengalihkan perhatian, tidak mendekati hal-hal tersebut atau meminta orang lain yang menangani ketakutannya. Ini lebih biasanya dilakukan oleh orang yang takut dengan hewan tertentu. Tapi ada juga beberapa responden yang memilih untuk tidak memikirkan masalahnya, dengan mencari ‘pelarian’ ke media lain, misalnya salah satunya memilih bermain games.
Lain halnya dengan mereka yang mengalahkan ketakutannya, memang lebih banyak telah memikirkan detail hal-hal apa yang perlu dilakukan untuk mengalahkan ketakutan tersebut, optimis dan mengidentifikasi ketakutannya itu. Tapi, bisa jadi mengalahkan rasa takut itu sebenarnya dapat menjadi suatu paradoks. Misal kita takut ketidakpastian, lalu kita menciptakan kemungkinan-kemungkinan ketidakpastian tersebut. Lalu kita membuat perencanaan dan persiapan yang matang. Setelahnya, kita jadi takut jika rencana kita gagal, maka kita berusaha mencapai ekspektasi orang lain tentang kita. Dengan begitu ada ketakutan baru lagi, yaitu takut mengecewakan orang lain, kemudian takut dianggap rendah oleh mereka, dan begitu seterusnya.
Sebenarnya, dengan takut kita telah menciptakan ketakutan-ketakutan baru. Kita takut dengan Tuhan, lalu kita menciptakan jenis ketakutan lain kalau kita tak mampu beribadah dan doa kita tidak diterima. Seterusnya itu akan menjadi paradoks, jika kita terus mengikuti ketakutan kita sendiri. Maka, mengalahkan rasa takut kuncinya adalah dengan menghilangkan rasa takut/sumber takutnya. Apakah sumber terbesar rasa takut? Ya, sumbernya adalah pikiran kita sendiri, sesuai dengan pernyataan di awal tulisan ini: “Benarkah rasa takut ialah sebuah ekspektasi atau pikiran antisipasi dari bahaya yang mungkin muncul?”
Misal kita takut Tuhan, apakah yang kita hilangkan adalah Tuhannya? Harusnya cara berpikirnya, Tuhan itu bukan sesuatu yang ditakuti, kembali ke paragraf sebelumnya tentang 3 pilar di ibadah (takut, harap, dan kecintaan). Lalu, takut tentang ketidakpastian? Apakah yang dihilangkan ketidakpastiannya? Mengingat suatu hal yang paling pasti adalah ketidakpastian itu sendiri. Kita hanya bisa menghilangkan kekhawatiran di pikiran tentang ketidakpastian, siap menghadapi ketidakpastian. Mengalahkannya dari titik dasar di pemikiran. Takut gagal? Mungkin belum pernah dengar pameo “Pesimis Positif” dari Ayah Pidi Baiq: sadari kita mungkin saja gagal, itu pesimisnya; tapi tetap harus berusaha dan lapang apapun hasilnya, itu positifnya. Kalau di Islam, mungkin mirip seperti tawakkal. Kalau berhasil ya senang segembiranya, gagal pun tak akan kecewa sejatuhnya. Sudahkah kita mengalahkan sumber takut kita?
Kami berhasil menjaring 94 responden, dengan porsi 62% merupakan perempuan. Jawaban yang dihasilkan tidak terlalu berbeda. Menariknya, ternyata objek yang paling banyak ditakuti adalah ‘tuhan’. Ketakutan ini termasuk fear of uncertainty sebab mereka yang takut Tuhan, menganggap Tuhan adalah sesuatu yang Omnipotent, segala sesuatunya di bawah kuasaNya. Ini sejalan dengan definisi fear of uncertainty, yaitu ketakutan akan terjebak dalam ketidakpastian atau situasi yang tidak bisa diprediksi, muncul karena ia merasa berada di bawah kontrol eksternal dan kehilangan otonomi atas kontrol dirinya sendiri. Ketidakberdayaan itu membuat mereka yang takut pada Tuhan “menyerahkan diri” padaNya dengan beribadah dan berdoa. Menuruti rasa takut menjadi cara yang paling banyak untuk mengatasi ketakutan tersebut.
Nampaknya alasan beragama karena rasa takut pada entitas Omnipotent, masih menjadi alasan utama. Dogma purba tentang agama diawali dari takut, tak berubah hingga saat ini. Fenomena menarik, bahwa ketakutan adalah emosi purba manusia. Lalu ketakutan juga dapat diatasi dengan menjauhinya. Rasa takut merupakan insting bertahan hidup yang paling penting bagi manusia. Kita menjadi peka dari bahaya dan menghindarinya, kecuali bisa menghadapinya. Takut secara reaksi fisiologis akan memproduksi glukosa dan adrenalin dalam darah, sehingga kita punya energi lebih. Jadi, ketakutan juga bukan berarti lemah, justru bila bisa menguasainya itu menjadi kekuatan.
Seperti Bruce Wayne, justru dia salah tidak merasa takut saat harus melompati jurang di penjara “The Pit”. Dia menyadari perlu mengelola rasa takut itu untuk menjadi kekuatannya, tapi tanpa mengganggu pikirannya. Ketakutan yang mengantarkan pada kebencian, marah dan penderitaan, itu lebih pada tataran pikiran. Amati kembali film Star Wars itu, Anakin terjebak pada pemikirannya yang penuh asumsi. Sehingga dia menjadi ‘takut’, kehilangan kekasihnya. Lalu akhirnya ketakutannya dimanipulasi oleh orang lain, untuk dimanfaatkan kekuatannya. Sejalan dengan ketakutan dimanfaatkan diktator serta budaya konsumtif. Ketakutan kita dimanipulasi oleh pihak eksternal. Kita kehilangan kendali pada pikiran kita.
Ketakutan-ketakutan tersebut sebenarnya dapat kita kelola. Karena sulit sekali untuk membuang rasa takut atau menghilangkannya. Wujud fisik ataupun pengalaman penyebab takut itu mungkin selalu ada. Tapi kita bisa mengelolanya di pikiran kita. Bagaimana caranya?